TUJUH BELAS AGUSTUS. Saya selalui menjumpai orang-orang membuat sebuah perayaan. Perayaan yang sama, dan selalu sama pada setiap tahun. Saya melihat, bagaimana seorang anak kecil, dengan segenap kepolosannya, berlomba memakan kerupuk yang digantung pada sebuah tali rafia. Kemudian, sekelompok pemuda bergantian naik ke pucuk pohon bambu, demi mendapatkan beberapa bungkus hadiah. Orang-orang ramai berdatangan, untuk menonton perlombaan. Mereka bersorak-sorai memberi semangat. Tanpa peduli malam semakin larut. Suasana pun menjadi ramai.
Seperti anak-anak kecil pada umumnya, saya selalu penasaran dengan lomba-lomba seperti itu. Di sekolah dasar, berulang kali saya coba ikuti lomba makan kerupuk, panjat pinang, dan lain sebagainya. Permainan-permainan itu, menguji ketangkasan dan kegigihan. Seperti yang para pahlawan lakukan untuk merebut ‘kemerdekaan’ dari tangan penjajah, kata guru saya.
Saya lantas percaya bahwa itulah kemerdekaan. Ketika kita bisa mengingat jasa-jasa para pahlawan bangsa. Lalu mengadakan atau mengikuti perayaan dan perlombaan untuk merayakan bulan kemerdekaan, Agustus. Saya hanya bisa mengamininya. Tanpa mencari benar atau tidaknya gagasan orang lain.. Sebagai seorang anak kecil, saya tak memiliki dasar berpikir yang logis. Saya sama sekali tak mengenal logika. Orangtua dan guru sekolah saya tidak pernah mengajarkan filsafat. Mereka melarang saya belajar filsafat. Bagi mereka filsafat bisa membuat orang sesat dalam beragama.
Continue reading “Nasionalisme Kita”